Reaksi hipersensitivitas obat termasuk dalam reaksi adversi obat yang tidak dapat diduga. Reaksi adversi obat dapat dibedakan menjadi tipe A (farmakologi/toksik) dan tipe B (hipersensitivitas). Manifestasi penyakit pada tipe A dapat diprediksi, bergantung pada dosis obat, efek toksik dari obat pada dosis yang disarankan atau dosis yang berlebihan. Tipe B memiliki manifestasi klinis yang tidak dapat di duga dan berbeda tiap individu. Gejala terjadi dalam satu hingga enam jam setelah meminum obat atau beberapa jam hingga hari dengan gejala yang muncul bisa ringan (bersin) hingga berat (anafilaksis).
Beberapa jenis obat yang anestesi yang menyebabkan rekasi alegi yaitu:
Pelumpuh otot:
– Rocuronium
– Atracurium
– Vecuronium
– mivacurium
Obat Anestesi
– Thiopental
– Propofol
– Etomidate
Obat anti nyeri
– Fentanyl
– Morphine
Gejala dan tanda awal reaksi alergi
Ada beberapa manisfestasi atau tanda dan gejala dari reaksi alergi dan anfilaksis, berikut merupakan tanda dan gejala yang perlu diketahui:
– kemerahan pada kulit
– gatal
– bengkak pada kelopak mata
– bengkak bibir
– mual
– nyeri pada perut
– sesak,
– penyempitan pada saluran pernafasan
– koma hingga
– kematian.
Strategi yang efektif untuk manajemen alergi obat adalah dengan menghindari atau menghentikan pemakaian obat yang dicurigai. Bila pada saat itu pasien memakai bermacam-macam obat, kalau mungkin semuanya dihentikan. Tetapi bila tidak, dapat diberikan obat yang esensial saja dan diketahui paling kecil kemungkinannya menimbulkan reaksi alergi.
Terapi tambahan untuk reaksi hipersensitivitas terhadap obat sebagian besar bersifat suportif dan simptomatik. Pengobatan simtomatik tergantung atas berat ringannya reaksi alergi obat. Gejala yang ringan biasanya hilang sendiri setelah obat dihentikan. Pengobatan kasus yang lebih berat tergantung pada erupsi kulit yang tejadi dan derajat berat reaksi pada organ-organ lain
Pilihan terapi pada keadaan anafilaksis adalah epinefrin yang diinjeksi secara intramuskular atau intravena. Pemberian epinefrin pertama diberikan 0,01 ml/kg/BB sampai mencapai maksimal 0,3 ml subkutan dan diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali.
Pada pasien dengan rekasi anafilatik, pasien memerlukan monitoring yang ketat sehingga pasien perlu dirawat diruang perawatan intensif.
Referensi:
Brockow K, Przybilla B, Aberer W, Bircher AJ, Brehler R, Dickel H, et al. Guideline for the diagnosis of drug hypersensitivity reactions. Allergo J Int. 2015;24:94-105.
Simons FER, Ardusso LRF, Bilo MB, Ledford DK, Ring J, Borges MS, et al. World Allergy Organization guidelines for the assessment and management of anaphylaxis. WAO Journal. 2011;4:13-37
Kenneth C, Cummings III, Arnaut K: Case report. Fentanyl – associated intraoperative anaphylaxis with pulmonary edema. Can J Anesth 2007
Kubitz JC: Schwere Anaphylaxie nach Rocuronium Anaesthesist 2006
Warrington R, Silviu-Dan F. Drug allergy. Asthma & Clinical Immunology. 2011
Djauzi S, Sundaru H, Mahdi D, Sukmana N. Alergi obat. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K. MS, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006
Tidak ada komentar on Apakah Bisa Terjadi Alergi pada Obat Bius?